KOMPONEN AKHLAK TASAWUF

Hasil gambar untuk komponen akhlak tasawufTindak kejahatan seperti pencurian, perampokan, penipuan sampai pemerkosaan yang semakin meningkat menunjukkan bahwa moralitas atau akhlak manusia semakin menurun. Akhlak mempunyai hubungan erat dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, adapun sifat tersebut dibagi menjadi dua yaitu sifat baik maupun sifat buruk. Seseorang yang mempunyai sidat baik maka akan terhindar dari tindakan tercela yang merugikan orang lain pula. Sebaliknya, jika seseorang memiliki sidat buruk atau tercela maka dapat mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang dan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Setelah mengetahuinya maka akan mudah untuk melakukan tazkiyat al-nafs (membersihkan jiwa) sebagai salah satu tujuan terpenting dalam tasawuf.

A.Sifat Tercela Dan Sifat Terpuji
Mendekatkan diri kepada Allah SWT maka seharusnya terlebih dahulu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela kemudian mengisinya dengan akhlak terpuji.
a. Macam-macam Sifat Tercela
Adapun sifat tercela yang harus dibuang dalam diri manusia adalah sebagai berikut:
1. Hub al-Dunya
Hub al-Dunya berarti mencintai dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat. Sedangkan dunia yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu sahwat dan kelezatan kepada manusia yang diperoleh langsung sebelum mati. (Al-Ghazali)
Lebih rinci, Al-Ghazali juga menjelaskan mengenai dunia, yaitu:
- Sesuatu yang menemani manusia diakhirat dan pahalanya kekal bersamanya sesudah mati.
- Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang langsung diperoleh didunia namun tidak memberi pahala diakhirat.
- Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat.
Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah.

2. At-Tham’

At-Tham’ berarti sifat rakus yang sangat berlebihan terhadap keduniawian, sehingga tidak mempertimbangkan apakah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh keduniaawian itu hukumnya halal dan haram, yang penting dapat memperoleh kemewahan hidup di dunia. Sifat rakus berbahaya bagi manusia karena dapat mengakibatkan timbulnya rasa dengki, iri dan permusuhan antar sesama manusia, serta perbuatan-perbuatan keji dan munkar, sehingga manusia lupa kepada Allah dan lupa kepada kebahagiaan hidup yang abadi di akhirat.
Menurut K.H. Ahmad Rifa’I, orang yang sangat rakus terhadap keduniaan tidak akan pernah merasa puas, sehingga ia terus mengejarnya sampai binasa. Pada akhirnya ia lalai kepada Allah dan lalai terhadap kebahagiaan hidup yang sejati dan abadi di akhirat.

3. Itba’ al-Hawa
Itba’ al-Hawa berarti sikap menuruti hawa nafsu untuk melakukaan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum Syara’. Orang yang seperti ini akan tersesat dari jalan Allah, bahkan menjadi kawannya setan, dan ia melupakan kebagiaan hidup yang kekal dan hakiki di akhirat. Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara’.

4. Al-‘Ujb
Al-‘Ujb adalah membanggakan diri karena merasa dapat terhindar dari siksa akhirat, bahkan menganggap wajib dirinya selamat dari siksa akhirat. Sifat ‘ujb tercermin pada rasa tinggi hatidalam berbagai bidang. Oleh sebab itu, sifat ‘ujb wajib dihindari dan ditinggalkan karena dapat merusak iman Menurut al-Ghazali, Al-‘Ujb adalah kesombongan yang terjadi di dalam batin seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta dan lain sebagainya pada dirinya. Lebih lanjut al-Ghazali mengungkapkan bahwa sifat ‘ujb sangat membahayakan bagi diri seorang mukmin karena ia mengajak kepada lupa dosa kepada Allah dan mengacuhkannya. Selain itu, Al-‘Ujb merupakan perbuatan dosa yang sangat berbahaya karena seseorang sering tidak sadar melakukannya.

5. Al-Riya’
Al-Riya’ berarti memperlihatkan amal kebajikan kepada orang lain. Dengan demikian bathin seseorang dalam melaksanakan amal ibadah atau amal kebajikan tidak bertujuan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia. Secara sederhana al-riya’ berarti niat seseorang dalam melaksanakan ibadah bukan karena Allah melainkan karena manusia.
Riya’ terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu:
1) Riya’ Khalish
Niat seseorang dalam melaksanakan ibadah semata-mata untuk memperoleh pujian, kedudukan dan lain sebagainya dari manusia, serta tidak bertujuan untuk dekat dengan Allah.
2)  Riya’ Syirk
Niat seseorang dalam melaksanakan ibadah karena terdorong untuk memenuhi permintaan Allah serta terdorong pula untuk memperoleh pujian dan kedudukan dari manusia. Dengan lain perkataan, niatnya bercampur antara niat karena Allah dan niat karena manusia.

6. At-Takabbur
At-Takabbur berarti menganggap dirinya besar dan mulia (sombong) yang disebabkan oleh adanya kebajikan atau kesempurnaan pada dirinya baik berupa harta banyak yang dimilikinya, ilmu yang dikuasainya, maupun hal-hal lainnya.
Sedangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah: Allah ta’ala berfirman: “Kesombongan itu kain selendang-Ku dan kebesaran itu kain sarung-Ku. Barangsiapa menentang (menyaingi) Aku dengan melakukan dua hal tersebut, niscaya Aku lemparkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan tidak Aku pedulikan”

7. Al-Hasd
Al-Hasd menurut bahasa berarti dengki, sedang istilah syara’ berarti, mengharapkan sirnanya kenikmatan Allah yang berada pada orang Islam baik berupa kebajikan ilmu, ibadah yang sah dan jujur, harta. Secara singkat hasd berarti mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain. Hasd harus dihindari dan ditinggalkan karena merupakan dosa besar dan haram hukumnya.

8. Al-Sum’ah
Al-Sum’ah berarti amal ibadah yang telah dilakukan oleh seseorang dengan benar sesuai dengan hukum syara’ dan dengan niat yang ikhlas karena Allah, kemudian amal ibadah tersebut ditutur-tuturkan atau diperdengarkan kepada orang lain, agar orang lain memujinya dan menghormatinya.
Sum’ah sebenarnya tergantung dari niatnya. Jika sum’ah dengan niat demi kemaslahatan agama, maka sum’ah tersebut menjadi terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika sum’ah dilakukan dengan niat untuk memamerkan keutamaan dan keistimewaan diri agar mendapat pujian dari manusia, maka sum’ah tersebut menjadi tercela.

B. Macam-macam Sifat Terpuji
Adapun sifat tepuji yang harus diisi dalam diri manusia adalah sebagai berikut:
1. Az-Zuhd
Az-Zuhd berarti kesediaan hati untuk melaksanakan ibadah dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban syari’at, meninggalkan dunia yang haram, dan secara lahir batin hanya mengharap ridha Allah Swt, demi memperoleh surgaNya.
 Menurut Ibn Taimiyah zuhd itu ada dua macam, yaitu:
1) Zuhd yang sesuai dengan syariat’, adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
2) Zuhd yang tidak sesuai dengan syari’at, adalah meninggalkan segala sesuatu yang dapat menolong seorang hamba untuk taat beribadah kepada Allah.
Adapun keutamaan orang yang melakukan Zuhd adalah:
1) Pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang zahid dilipat gandakan oleh Allah Swt.
2) Seorang yahid akan memperoleh ilmu dan petunjuk langsung dari Allah tanpa belajar.

2. Al-Qana’ah

Al-Qana’ah adalah hatinya tenang memilih ridha Allah mengambil keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat memenuhi kewajiban (syari’at) menjauhkan maksiat.
Keutamaan orang fakir yang memiliki sifat qana’ah sebagai berikut:
1) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, derajatnya lebih tinggi di hadapan Allah dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah.
2) Orang fakir yang memiliki sifat qana’ah, lebih dahulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya yang tidak memiliki sifat qana’ah meskipun sama-sama beribadah.
3) Orang fakir yang secara lahiriyah sedikit melakukan amal ibadah akan memperoleh pahala yang besar dari pada orang kaya yang secara lahiriyah banyak melakukan amal ibadah dan banyak bersedekah.

3. Al-Shabr
Al-Shabr secara bahasa adalah menanggung kesulitan, menurut istilah berarti melaksanakan tiga perkara yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat zhahir bathin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar (Rifa’i, Riayat, Juz II:30).

4. Al-Tawakkal
Tawakal adalah berserah diri kepada Allah yang disertai dengan ikhtiar dan usaha mencari rizki seperlunya untuk keperluan ibadah kepada Allah, serta memerangi hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan dan ketamakan terhadap keduniawian, karena hal tersebut merupakan fitnah yang sangat buruk dan dapat membawa kesengsaraan manusia.
Dijelaskan pula, bahwa manusia harus berserah diri kepada Allah semata, tidak boleh berserah diri kepada selain Allah, karena dengan berserah diri kepada Allah ia akan mendapat petunjuk jalan yang lurus. Jika manusia berserah diri kepada selain Allah, maka ia akan menjadi sesat dan akan menambah dosa yang lebih berat.

5. Al-Mujahadah

Al-Mujahadah berarti bekerja keras dan berjuang melawan keinginan hawa nafsu, berjuang melawan bujukan syaitan, berjuang menjauhi godaan-godaan syaitan, dan berjuang menundukkan diri agar tetap di dalam batas-batas syara’ untuk mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangannya.

6. Al-Ridha
Al-Ridha adalah menerima dengan tulus segala pemberian Allah, hukumNya (syari’at), berbagai macam cobaan yang ditakdirkanNya, serta melaksanakan semua perintah dan meninggalkan sernua laranganNya dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, baik secara lahir maupun bathin.

7. Al-Syukr
Al-Syukr merupakan mengetahui dan menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Luhur. Oleh karena itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah, karena orang yang mensyukuri nikmat Allah, maka akan ditambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya.
Tiga cara mensyukuri nikmat Allah SWT, yaitu:
1) Mengucapkan pujian kepada Allah dengan ucapan al-hamdulillah.
2) Segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya harus dipergunakan untuk berbakti (beribadah) kepada Allah.
3) Menunaikan perintah-perintah syara’ minimal ibadah wajib dan meninggalkan maksiat dengan ikhlas lahir dan bathin.

8. Al-Ikhlas
Al-Ikhlas menurut bahasa adalah bersih. Sedangkan menurut istilah adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain Allah.
Sedangkan ikhlas sendiri digolongkan oleh K.H. Ahmad Rifa’I menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1) Ikhlas ‘awwam, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh rasa takut menghadapi siksaanNya yang amat pedih, dan didorong pula oleh adanya harapan untuk mendapatkan pahala dariNya.
2) Ikhlas khawwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah karena didorong oleh adanya harapan ingin dekat dengan Allah dan karena didorong oleh adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu dan kedekatannya kepada Allah.
3) Ikhlas khawwash al-khauwash, yakni seseorang yang melakukan ibadah kepada Allah yang semata-mata didorong oleh kesadaran yang mendalam untuk mengEsakan Allah dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, serta bathin mengekalkan puji syukur kepada Allah.

C. Al-Mahabbat, al-Qurb, dan al-Ma’rifat
1. Al-Mahabbat
Al-Mahabbat, Al-hubb atau al-mababbat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya atau apa yang diduganya baik.
Inti paham mahabbat K.H. Ahmad Rifa’i adalah mematuhi semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangannya dengan tulus ikhlash. Paham mahabbatnya hanya sebatas cinta antara seorang ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (Yang Disembah). Masih ada jarak antara seorang hamba dengan Allah, bukan cinta sesama kekasih yang mempunyai persamaan derajad (munasabat). Paham mahabbatnya masih sangat erat kaitannya dengan syari’at.

2. Al-Qurb
Ajarannya tentang al-qurb menurut K.H. ahmad Rifa’i ialah dekatnya hati seorang hamba dengan Allah, sehingga ia mampu menyaksikan keagungan dan kemuliaan-Nya. Hamba yang telah mencapai derajad kedekatan Allah, maka mata hatinya mampu memandang keagungan-Nya karena Allah benar-benar dekat dengan dirinya.
Adapun cara untuk berada dekat dengan Allah, K.H. Ahmad Rifa’i menjelaskan sebagai berikut:
1) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya ia keluar dari dirinya.
2) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa ingat kepada-Nya, karena kelalaian seorang hamba kepada Allah menjadikan dirinya jauh dari Allah.
3) Seorang hamba yang ingin berada dekat dengan Allah, hendaknya senantiasa menyandarkan diri pada anugerah dan rahmat Allah.

3. Ma’rifat

Ma’rifat, bagi K.H. Ahmad Rifa’i, merupakan puncak kedekatan seorang hamba dengan Allah sedekat-dekatnya, sehingga mata hatinya dapat melihat keagungan Allah dan keindahan-Nya, yang disertai rasa takut dan cinta di dalam hati. Puncak ajaran tashawwuf K.H. Ahmad Rifa’i adalah ma’rifat, yakni sebatas melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah seperti keindahan, keagungan, perbuatan dan sifat-sifat-Nya.

0 Response to "KOMPONEN AKHLAK TASAWUF"

Post a Comment