Semiotika berasal dari kata Yunani : semeion, yang berarti tanda. Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Jadi, semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. la mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi yang menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat. Dalam teori metasemiotik (scientific semiotics) menurut Louis Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi.
Pandangan yang lain adalah dari Roland Barthes yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan kontasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda (signifier) dan petanda (signified) pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dua aspek kajian dari Barthes tersebut merupakan kajian utama dalam meneliti mengenai semiotik. Kemudian Barthes juga menyertakan aspek mitos, yaitu di mana ketika aspek konotasi menjadi pemikiran populer di masyarakat, maka mitos telah terbentuk terhadap tanda tersebut. Pemikiran Barthes inilah yang dianggap paling operasional sehingga sering digunakan dalam penelitian.
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biiasanya dimaknai sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengn arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi didalam semilogi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketutupan makna. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Berthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanya konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, nammun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Sedangkan macam semiotika terdapat sebilan macam semiotik, yaitu:
a. Semiotik Analitik
Semiotik yang menganalisis sistem tanda. Contoh: seseorang yang mempunyai suatu ide dalam pikirannya, lalu ide tersebut digambar menggunakan alat tulis menjadi suatu benda atau simbol, dan benda tersebut mempunyai makna dibaliknya.
b. Semiotika Deskriptif
Semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun,
dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Semiotika Faunal (zoosemiotic)
Semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah berteluratau ada sesuatu yang ia takuti. Induk ayam yang membunyikan “krek ... krek ... krek ...” memberikan tanda kepada anak-anaknya untuk segera mendekat, sebab ada makanan yang ditemukan. Tanda-tanda yang dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.
d. Semiotika Kultural
Semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. Contoh: budaya orang NU adalah adanya tahlilan, sholawatan dan lain-lain.
e. Semiotika Naratif
Semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi. Contoh: pohon beringin yang rindang dan lebat di percayai orang-orang bahwa pohon itu keramat atau angker.
f. Semiotika Natural
Semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
g. Semiotika Normatif
Semiotik yang khusus menelaah tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.
h. Semiotika Sosial
Semiotik yang khusus menelaah sistem yang tanda dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Contoh: lagunya Nidji yang berjudul “Laskar Pelangi” yang mempunyai makna kata yang baik dan indah.
i. Semiotika Struktural
Semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Baik itu bahasa verbal maupun bahasa non verbal
Pandangan yang lain adalah dari Roland Barthes yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan kontasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda (signifier) dan petanda (signified) pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dua aspek kajian dari Barthes tersebut merupakan kajian utama dalam meneliti mengenai semiotik. Kemudian Barthes juga menyertakan aspek mitos, yaitu di mana ketika aspek konotasi menjadi pemikiran populer di masyarakat, maka mitos telah terbentuk terhadap tanda tersebut. Pemikiran Barthes inilah yang dianggap paling operasional sehingga sering digunakan dalam penelitian.
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biiasanya dimaknai sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengn arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi didalam semilogi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini, denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketutupan makna. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Berthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanya konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, nammun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
Sedangkan macam semiotika terdapat sebilan macam semiotik, yaitu:
a. Semiotik Analitik
Semiotik yang menganalisis sistem tanda. Contoh: seseorang yang mempunyai suatu ide dalam pikirannya, lalu ide tersebut digambar menggunakan alat tulis menjadi suatu benda atau simbol, dan benda tersebut mempunyai makna dibaliknya.
b. Semiotika Deskriptif
Semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan bahwa laut berombak besar. Namun,
dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Semiotika Faunal (zoosemiotic)
Semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah berteluratau ada sesuatu yang ia takuti. Induk ayam yang membunyikan “krek ... krek ... krek ...” memberikan tanda kepada anak-anaknya untuk segera mendekat, sebab ada makanan yang ditemukan. Tanda-tanda yang dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.
d. Semiotika Kultural
Semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain. Contoh: budaya orang NU adalah adanya tahlilan, sholawatan dan lain-lain.
e. Semiotika Naratif
Semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada di antaranya memiliki nilai kultural tinggi. Contoh: pohon beringin yang rindang dan lebat di percayai orang-orang bahwa pohon itu keramat atau angker.
f. Semiotika Natural
Semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
g. Semiotika Normatif
Semiotik yang khusus menelaah tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok.
h. Semiotika Sosial
Semiotik yang khusus menelaah sistem yang tanda dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Contoh: lagunya Nidji yang berjudul “Laskar Pelangi” yang mempunyai makna kata yang baik dan indah.
i. Semiotika Struktural
Semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Baik itu bahasa verbal maupun bahasa non verbal
0 Response to "PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM SEMIOTIKA"
Post a Comment